Bergerak Bagai Air - Bagai Bumi Membentuk Menumbuhkan-
Hidup Bagai Cahaya Menerangi Alam Semesta

Senin, 24 November 2008

Aikido : The Art Of Fighting Without Fighting

Kemarin saya baca buku dengan judul diatas : Aikido, The Art of Fighting without fighting. Buku itu memberikan banyak solusi bagaimana menyelesaikan sebuah pertarungan tanpa bertarung, dengan jalan Aikido.

Hah? Ber Aikido tapi tidak ber tarung? Kok bisa?

Untuk memberikan gambaran akan hal ini, sang penulis, dalam kata pengantarnya memberikan sebuah ilustrasi cerita yang menarik. Cerita itu kalau kita adaptasi secara bebas, dengan latar kejadian di Jakarta, kira-kira seperti ini :

“.. Alkisah ada seorang murid Aikido, yang belajar dengan tekun selama bertahun-tahun dengan sensei nya. Sang Aikidoka ini kebetulan memang anak baik-baik, sehingga jarang terlibat dalam masalah. Maka suatu hari diapun menjadi resah. Kapan ilmu Aikido ini bisa aku terapkan di jalanan? Sudah bertahun-tahun aku belajar Aikido, tapi nggak pernah membuktikan kehebatan teknik Aikido. Akh, bagaimana ini? Begitulah kira-kira pikiran sang Aikidoka tadi. Semakin keras berlatih, semakin resahlah dia. Apalagi para seniornya menceritakan dengan penuh kebanggaan, bagaimana mereka bertarung di jalanan. Maka semakin bulatlah tekad dia untuk mencoba teknik Aikido di jalanan, sesegera mungkin.

Dan hari itupun tiba. Suatu malam, pulang kerja, dia naik Busway terakhir dari Blok M. Jalanan Jakarta sudah lengang, dan suasana Busway tampak sepi. Kemudian, di sebuah pemberhentian busway, masuklah seorang pria yang tampak mencurigakan. Dia mabuk. Sejak masuk sudah terdengar dia mengomel tidak karuan. Ngomong kasar, maki sana maki sini. Aroma minuman sudah tercium dari mulutnya. Begitu masuk, dia sudah mengajak ribut penumpang di dekat pintu masuk. Semua tampak ketakutan dengan si pemabuk. Apalagi badannya besar dan logatnya kasar. Suasana Busway makin mencekam. Disaat inilah sang Aikidoka tadi justru gembira bukan main, bertemu sebuah momen penting dalam hidupnya. Ah, ini dia. Saatnya praktek waza. Oh, sensei.. doakan saya. Demikian kata hatinya.

Sang pemabuk memaki semua orang dengan menyeramkan dari ujung ke ujung. Penumpang tidak ada yang berkutik. Sang Aikidoka jadi tidak sabar menunggu gilirannya. Dia duduk saja menanti sang pemabuk mendekatinya. Toh memang seperti itulah yang diajarkan di dojo bukan? Biarlah sang Uke menyerang lebih dulu, dan Nage pun beraksi. Semakin tidak sabar saja sang Aikidoka ini. Tak lama kemudian, sang pemabuk sampai di tempat dia. Mereka sudah saling tatap. Sang Aikidoka sudah siap dengan segala kemungkinan. Sudah sejak tadi dia menjaga kamae nya.

Tiba-tiba, seorang penumpang pria di depannya, menegur pemabuk itu dengan halus.
‘mas.. mas.. kenapa sih, dari tadi kok marah-marah mulu. Kayaknya lagi banyak masalah ya di kantor? Sante aja, mas. Duduk aja disini dulu, sebelah saya kosong, kok.. silakan.. disini nggak ada yang mau ribut kok sama mas.. ‘

Suasana hening.

Sang pemabuk kemudian duduk di samping pria itu. Dan dalam beberapa percakapan akrab selanjutnya, sang pemabuk sudah menitikkan air mata, menangis menceritakan semua masalahnya. Masalah di rumah, masalah di kantor, masalah kehidupan. Sang Aikidoka tertegun. Dia bingung, kagum, dan sekaligus tersadar : ‘Inilah Aikido yang sebenarnya.. ‘..”

Seringkali, kekerasan tidak menyelesaikan masalah. Seringkali, komunikasi verbal, cukup. Apalagi ketika itu digunakan dalam kesadaran prinsip Aikido. Sebuah prinsip yang mendahulukan kasih sayang.

Salam.

1 komentar:

Renesmee mengatakan...

aku suka cerita ini....gmana mo gabung, dan persyaratannya apa untuk jadi seorang Aikidoka..

Salam
Rinny ^_^